-->
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sejarah Jam Kerja Perkembangan, Perubahan, dan Dampaknya hingga Kini

 

Sejarah Jam Kerja Perkembangan, Perubahan, dan Dampaknya hingga Kini


Kenapa kita kerja dari Senin sampai Minggu? Kenapa kita kerja 9 to 5? Kenapa kita kerja 40 jam per minggu? Kenapa kita lembur?

Kenapa orang bule liburan musim panasnya panjang banget, sementara di Indonesia yang musim panas terus-terusan, liburnya nggak sepanjang orang bule? Ada yang tahu nggak? Kalian pernah mikir sedetail ini nggak? Mempertanyakan hal-hal yang menurut kita biasa aja dan lumrah kita lakukan setiap harinya, setiap minggunya, setiap tahunnya? Padahal ada sejarahnya!

Bagaimana Manusia Bekerja dari Masa ke Masa

Untuk membahas kerja 9 to 5, kita harus bahas dulu bagaimana cara manusia bekerja sebelum adanya revolusi industri. Berapa lama manusia bekerja dari zaman perburuan dan pertanian sebelum adanya listrik, mesin uap, dan manufaktur?

Menurut sebuah riset dari Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), organisasi non-pemerintah yang bekerja sama dengan para pembuat kebijakan di berbagai negara, orang-orang di zaman perburuan bekerja sekitar 3 sampai 8 jam per hari. Tapi ini bukan berarti mereka harus kerja setiap hari. Semuanya tergantung dari stok makanan dan musimnya.

Di zaman ini, nggak ada pemisahan antara kerja dan tidak kerja. Manusia berburu untuk hidup. Saat berburu, mereka bekerja 3 sampai 8 jam tergantung ada atau nggak hewan buruan. Kalau langsung dapat rusa dan berhasil memanahnya, bisa saja mereka kerja hanya 2 atau 3 jam. Jadi, benar-benar tergantung situasi dan kondisi.

Masa Agraria

Setelah perburuan, masuklah era agraria, di mana manusia mulai bertani. Seperti di zaman berburu, pekerjaan juga bervariasi. Tidak ada perbedaan antara kerja dan istirahat. Pertanian menjadi bagian dari hidup mereka.

Misalnya, seorang petani di musim tanam mungkin bekerja dari pagi sampai matahari terbenam untuk menanam benih. Tapi setelah tanaman tumbuh, pekerjaannya lebih santai—hanya mencabut rumput liar atau menyiram tanaman. Pandai besi di era ini juga bekerja berdasarkan permintaan, bukan berdasarkan jam kerja tetap.

Orang-orang menentukan waktu kerja berdasarkan posisi matahari. Mereka mulai bekerja subuh, istirahat siang saat matahari di atas kepala, lalu berhenti saat matahari terbenam. Alasannya? Malam hari penuh dengan bahaya seperti bandit, perampok, dan penjarah.

Proto-Industrialisasi

Memasuki abad ke-16 hingga ke-18, manusia mulai menggunakan alat-alat untuk mempermudah pekerjaan, tapi belum ada mesin uap. Di era ini, orang bekerja cukup panjang, sekitar 10-12 jam per hari.

Yang menarik, mereka lebih banyak libur! Berdasarkan riset, di zaman ini orang bisa libur 50-70 hari per tahun. Tapi, Sabtu masih dihitung hari kerja. Libur mereka jatuh di hari Minggu karena harus ke gereja. Selain itu, ada banyak hari libur keagamaan, festival, dan perayaan musim.

Namun, ada sisi negatifnya: anak-anak masih diperbolehkan bekerja, tidak seperti sekarang yang memiliki batasan usia kerja.

Revolusi Industri: Pekerjaan Menjadi Mencekam

Ketika revolusi industri dimulai di awal 1800-an, kondisi buruh menjadi lebih buruk. Orang-orang bekerja 10-16 jam per hari, 6 hari seminggu, dan hampir 300 hari setahun! Anak-anak pun dipaksa bekerja selama berjam-jam.

Pada tahun 1833, barulah ada kebijakan Factory Act yang membatasi jam kerja anak-anak:

  • Anak umur 9-13 tahun hanya boleh bekerja maksimal 8 jam per hari.

  • Anak umur 14-18 tahun hanya boleh bekerja maksimal 12 jam per hari.

Namun, kondisi kerja tetap mengerikan. Banyak buruh kehilangan anggota tubuh akibat kecelakaan di pabrik. Jalanan di kota industri disebut-sebut seperti medan perang, penuh dengan buruh yang terluka.

Robert Owen dan Henry Ford: Perubahan Besar dalam Dunia Kerja

Seorang pengusaha bernama Robert Owen menggagas ide "8 jam kerja, 8 jam istirahat, dan 8 jam waktu luang." Gagasan ini akhirnya menyebar ke Inggris, Amerika Serikat, dan negara lain.

Pada 1 Mei 1886, buruh di Chicago melakukan demo besar-besaran yang akhirnya menjadi dasar peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day. Namun, belum semua pabrik menerapkan aturan 8 jam kerja.

Henry Ford kemudian membuktikan bahwa membatasi jam kerja menjadi 8 jam tanpa mengurangi upah justru meningkatkan produktivitas dan profit perusahaan. Ia menemukan bahwa pekerja yang lebih sejahtera bisa lebih produktif dan mendorong ekonomi karena mereka punya lebih banyak waktu untuk berbelanja. Akhirnya, konsep 8 jam kerja per hari dan 40 jam kerja per minggu diadopsi secara luas.

Apakah Model 9 to 5 Masih Relevan?

Sekarang, sudah lebih dari 80 tahun sejak model 8 jam kerja diterapkan. Dengan teknologi seperti internet, AI, dan otomatisasi, masih relevankah kita bekerja 8 jam sehari?

Ekonom John Maynard Keynes pernah meramalkan bahwa pada tahun 2030, manusia hanya perlu bekerja 15 jam per minggu karena kemajuan teknologi dan ekonomi. Namun, ada pandangan lain dari teori ekonomi Austria yang menyatakan bahwa jam kerja seharusnya tidak diatur oleh negara, melainkan disesuaikan dengan kebutuhan pasar dan produktivitas individu.

Menurut data Our World in Data, negara seperti Korea Selatan dulu memiliki jam kerja tinggi tapi produktivitasnya rendah. Namun, seiring waktu, produktivitas meningkat dan jam kerja berkurang. Sebaliknya, Indonesia masih memiliki jam kerja yang stabil, tapi produktivitasnya cenderung stagnan.

Jadi, pertanyaannya:

  • Apakah kita tetap bekerja 8 jam per hari?

  • Haruskah jam kerja dikurangi tanpa mengurangi gaji?

  • Atau, apakah jam kerja harus fleksibel tergantung produktivitas?

Post a Comment for "Sejarah Jam Kerja Perkembangan, Perubahan, dan Dampaknya hingga Kini"