Mengatasi Tantangan Hidup Kenapa Hal Sulit Justru Membuat Kita Lebih Baik
Bangun subuh itu susah, tidur itu gampang. Lari pagi itu susah, duduk nyantai itu gampang. Stop makan gula itu susah, makan enak itu gampang. Bikin konten itu susah, ngingirin konten itu gampang. Menulis itu susah, ngomong doang itu gampang. Olahraga itu susah, punya fisik lemah itu gampang. Puasa 16 jam itu susah, makan asal-asalan itu gampang. Baca buku itu susah, scrolling di media sosial berjam-jam itu gampang. Semua aktivitas yang saya barusan sharing adalah pilihan, dan kita sebagai manusia bisa memilih semua kegiatan ini. Kita tahu bahwa jika kita melakukan kegiatan-kegiatan yang sulit tersebut, itu akan membantu kita di masa depan. Tapi entah kenapa, diri kita merasa enggan.
Namun, coba deh kalian pikir, hidup ini memang serba susah, kan? Sampai ada quote yang bilang, "life is suffering", hidup itu menderita. Saya yakin, yang menonton video ini dan mengonsumsinya sampai habis adalah orang-orang yang merasa hidup ini penuh PR. Kapan sih jadi gampang? Apalagi yang susah-susah ini adalah sesuatu yang harus kita kerjakan: harus bangun pagi, harus ke sekolah, harus kerja, harus bayar pajak, harus mengikuti aturan. Jadi sebenarnya, kita bisa kan melakukannya? Tapi entah kenapa, kalau tidak ada kewajiban, otak manusia seperti ada sesuatu yang bergerak.
Kenapa kita harus melakukan hal-hal susah seperti ini? Ternyata, di otak kita ada makhluk seperti monyet yang ingin santai saja. Monyet itu merasa tidak ada keharusan, tapi begitu ada deadline mendadak, dia langsung kabur dan baru berusaha ekstrem, akhirnya produktif. Ini adalah Parkinson's Law. Di sisi lain, ada juga makhluk abstrak dalam otak kita yang disebut ego. Ego ini berusaha menjaga kita, karena dia tidak ingin kita merasa tolol. Ego tidak ingin kita merasakan penolakan atau merasa tidak mampu. Ego selalu membisikkan, "Saya tahu kamu ambisius, tapi tidak perlu sok-sokan. Mendingan overthinking saja."
Tapi pertanyaannya, jika kita selalu mendengarkan ego, sampai kapan? Hidup ini penuh dengan deadline, dari garis start hingga finish. Semua kewajiban yang kita jalani adalah input, dan hasilnya adalah output. Kita bekerja, dapat output berupa uang. Kita sekolah, dapat informasi. Kita bayar pajak, supaya tidak dikejar pajak. Semua hal sulit yang kita lakukan, seperti bangun pagi, lari pagi, atau mengurangi gula, ada outputnya. Ini bisa membuat kita terasosiasikan dengan high-performance people, orang-orang yang produktif. Itu bisa memberi momentum untuk menjalani hari dengan lebih semangat.
Namun, yang membuat hal-hal sulit ini semakin sulit adalah kenyataan bahwa kita bisa memilih. Tidak ada yang akan marah jika kita tidak melakukannya. Ini sangat rasional untuk otak manusia, karena saat menemui masalah atau aktivitas yang berat, default otak kita akan bertanya, "Kenapa tidak berhenti saja?" Tidak ada yang marah, kan? Lalu, ego dan otak monyet mulai berbisik, dan kita bisa memilih: menjadi orang yang selalu mengecewakan diri sendiri di masa depan atau menjadi orang yang tidak ingin mengecewakan diri sendiri karena sudah berjanji dengan diri di masa lalu.
Pilihan ada di kita. Bagi kalian yang masih bingung mulai dari mana atau butuh tips untuk melawan ego dan monyet ini, saya punya tiga rekomendasi. Pertama, coba two-minute rule. Jika merasa 30 menit atau 1 jam terlalu ekstrem, mulai dengan dua menit saja. Ini untuk melatih otak kalian, karena otak kita visualisasi. Misalnya, baca buku 200 halaman terasa ekstrem, tapi kalau satu paragraf, itu pasti lebih mudah.
Kedua, buat ekosistem yang mempermudah kalian melakukan hal-hal positif. Contohnya, jika ingin berolahraga, pastikan sepatu olahraga sudah siap atau bahkan sudah memakai baju olahraga saat tidur. Terakhir, identitas kalian harus sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Jika ingin jadi content creator, anggaplah diri kalian sebagai orang yang selalu bikin konten, bukan sebagai orang yang menunggu jutaan views. Fokus pada identitas yang bisa kalian kontrol.
Saya tahu, hari ini saya benar-benar malas untuk bikin video. Saat orang lain sedang liburan dan hujan, saya bangun pagi, nyiksa diri di air dengan suhu 3 derajat Celsius, dan berbicara tentang hal ini. Kenapa saya lakukan itu? Karena saya tahu, setelah selesai, rasanya akan luar biasa. Ini bukan untuk validasi orang lain, tapi untuk diri saya sendiri. Saya tahu, jika saya terus bertahan, saya akan terasosiasi dengan pemenang, bukan pecundang.
Dalam hidup ini, kita memilih perang kita sendiri. Kadang, ego dan otak monyet mengatakan untuk berhenti, tapi kita tahu, hasilnya akan luar biasa jika kita terus berjuang. Melakukan hal yang sulit, seperti menunda kesenangan (delayed gratification), adalah bentuk dari mencintai diri sendiri. Disiplin dan konsistensi memperlihatkan seberapa kita mencintai diri kita sendiri, apalagi di hari-hari yang tidak ada mood.
Contohnya, bikin produk yang disukai banyak orang sangat sulit, tapi begitu berhasil, rasanya luar biasa. Ini tentang konsistensi, disiplin, dan keberanian untuk menanggalkan kenyamanan sesaat demi hasil yang lebih besar di masa depan. Saya ingin mengingatkan kalian, jangan pilih yang mudah. Lakukan hal yang sulit, karena hasilnya jauh lebih memuaskan.
Sebagai penutup, buat kalian yang masih bingung, coba gerakan Habit 30. Cobalah mengakuisisi kebiasaan positif selama 30 hari berturut-turut. Saya sudah buat video tentang Habit 30 yang bisa kalian cek di deskripsi, termasuk link untuk newsletter dan tracker-nya.
Itu saja artikel hari ini. Sampai jumpa di artikel berikutnya. Salam kreatif!
Post a Comment for "Mengatasi Tantangan Hidup Kenapa Hal Sulit Justru Membuat Kita Lebih Baik"