-->
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Alasan Resign Kerja yang Baik dan Profesional agar Karier Tetap Cemerlang

Alasan Resign Kerja yang Baik dan Profesional agar Karier Tetap Cemerlang

Buat kalian yang kerja kantoran, kemungkinan besar artikel ini bakal bikin kalian mikir, bahkan sampai kebawa mimpi. Tenang aja, artikel ini bukan motivasi untuk kalian jadi pebisnis atau ajakan untuk membeli apapun. Di sini, gua cuma sharing cerita pengalaman gua waktu kerja kantoran dan akhirnya memutuskan untuk resign. Gua berpikir kemungkinan besar cerita gua ini relate sama salah satu dari kalian yang lagi kerja kantoran.

Disclaimer: Gua tidak mendiskreditkan orang yang kerja 9 to 5 di kantor. Kalau lu happy dengan kerjaan dan rutinitas lu, kerja di kubikel, masuk absen, pulang absen, harus tap finger, kadang Sabtu dan Minggu tetap disuruh kerja, cuti harus izin, liburan cuma dua kali setahun dan lu tetap happy dengan kondisi itu, good for you! I’m happy for you. Artikel ini gua buat untuk kalian yang sedang ada dalam kondisi tersebut dan merasa ada yang salah sama hidup kalian. Kalau lu adalah orang seperti itu, alasan gua resign kemungkinan besar relate sama lu.

Gua juga mau ngingetin, jangan sampai habis baca artikel ini langsung gelap mata, buta, dan langsung resign. Lu wajib pakai otak, jangan bego langsung memutuskan resign cuma gara-gara artikel ini, apalagi buat lu yang udah punya tanggungan keluarga, istri, atau anak. Kalau lu pengin mengubah kondisi lu, yang lu butuhkan adalah escape plan. Gua mau cerita pengalaman gua kenapa gua memilih untuk resign sebagai karyawan kantoran.

1. Hierarki di Tempat Kerja

Jujur, pekerjaan pertama gua di corporate itu adalah di perusahaan multinational yang sangat bagus. Gaji oke, isinya orang-orang pintar, fasilitas lengkap, tunjangan bagus bisa dibilang dream job banyak orang. Saat itu, gua kerja di multinational management consulting company yang masuk dalam jajaran top internasional. Meskipun perusahaan gua bagus, tetap aja ada yang namanya hierarki.

Entah kenapa, dari dulu gua enggak pernah suka sama sistem hierarki kayak gini. Dari sekolah, gua udah ngerasa terkekang—pakai seragam tertentu, masukin baju ke celana, enggak boleh pakai sepatu putih, rambut enggak boleh gondrong. Waktu gua mau nembak cewek, rambut gua udah gua pangkas rapi, tapi gara-gara kepanjangan sedikit, harus tetap dipotong. Ya tetap diterima sih sama ceweknya, tapi gua jadi enggak pede karena rambut gua dipotong rata kayak Dora.

Setelah kuliah, gua mulai merasakan sedikit kebebasan. Memang tetap ada hierarki, harus hormat sama dosen dan taat peraturan universitas, tapi enggak seketat sekolah. Gua masih bisa memilih mata kuliah, bisa masuk kelas atau enggak, tinggal tanggung resikonya sendiri. Namun, setelah lulus kuliah dan mulai kerja kantoran, gua merasakan kembali perasaan yang sama seperti waktu sekolah terkekang dengan embel-embel loyalitas perusahaan.

Mau melakukan pekerjaan yang menurut kita bagus dan hasilnya bisa maksimal, harus melewati banyak approval. Supervisor ngomong ke manajer, manajer ngomong ke asisten direktur, dan seterusnya. Lama banget prosesnya. Padahal, culture perusahaan gua santai banget. Gua bisa manggil bos langsung dengan nama, enggak pakai “Pak” atau “Bu.” Tapi tetap aja, meskipun fleksibel, hierarki tetap ada.

2. Jam Kerja yang Tidak Seimbang

Jangan salah paham, bukan berarti gua maunya kerja santai. Tapi pekerjaan gua waktu itu punya jam kerja yang sesuai, yaitu 40 jam seminggu. Masalahnya, karena kesalahan atasan dalam memanage waktu, gua yang tadinya bisa pulang jam 6 atau 7 malam, sering harus pulang jam 8 atau 9 malam.

Biasanya, gua pulang pakai bus, yang ongkosnya murah. Tapi karena sering lembur, busnya udah enggak ada, jadi gua harus naik Uber. Ongkos yang seharusnya bisa gua tabung atau investasikan, malah habis buat transport gara-gara meeting tambahan yang enggak perlu.

Kalau ditanya kenapa enggak bisa pulang on time? Jawabannya selalu loyalitas perusahaan. Tapi kalau kita udah enggak berguna, perusahaan bakal tetap nendang kita juga. Setelah gua baca-baca, kebanyakan orang itu sebenarnya bukan resign dari perusahaannya, tapi resign dari bos atau timnya yang toxic.

3. Commuting yang Melelahkan

Gua udah ngerasain commute pakai KRL, busway, bis biasa tanpa AC, Gojek, Gocar, Uber—semua pernah gua coba. Waktu yang terbuang bisa 1-2 jam hanya untuk perjalanan. Kalau pakai KRL lebih cepat, tapi penuh dan enggak nyaman. Kalau pakai Gocar, nyaman tapi mahal. Kalau pakai Gojek, badan pegal dan selangkangan panas.

Setelah commute lama, energi sudah terkuras habis di kantor. Pulang kerja, bukannya bisa ngurus side hustle atau kegiatan produktif lain, malah udah capek banget. Mau main game aja harus nyari waktu dulu. Buat yang rumahnya jauh dari kantor, apalagi di kota satelit kayak Bogor atau Bekasi, rasanya makin berat.

4. Politik Kantor yang Toxic

Salah satu hal yang paling gua benci dari kantor adalah politiknya. Orang yang di depan muji-muji bosnya, tapi di belakang ngomongin keburukannya. Ada juga yang sikut-sikutan sama kolega demi naik jabatan. Yang paling ngeselin, ada orang yang lebih bodoh, bukan anak owner, bukan saudara bos, tapi karena jago ngejilat, malah naik jabatan duluan.

Gua enggak tahan dengan lingkungan kayak gitu. Buat gua, kalau lu enggak suka sama bos lu, pilihannya cuma dua: ngomong langsung dan siap dipecat, atau terima aja tanpa ngomongin di belakang. Gua enggak tahan dengan orang-orang bermuka dua di kantor.

5. 9 to 5 Itu Seperti Perbudakan

Menurut gua, sistem kerja 9 to 5 itu mirip perbudakan modern. Lu diatur dari jam masuk, jam pulang, kapan boleh makan siang, kapan harus kerja lagi. Buat gua yang punya karakter bebas, ini sangat menyiksa. Gua enggak suka diatur sampai ke detail seperti itu.

Tapi gua sadar, enggak semua orang bisa langsung resign. Kalau lu masih punya tanggungan keluarga, jangan gegabah. Lu tetap harus cari duit buat nafkahin keluarga, meskipun lu enggak suka dengan sistem kerja seperti itu.

6. Jalan ke Kekayaan Terlalu Lama

Gua sadar kalau tetap di corporate ladder, butuh waktu 7-10 tahun buat dapetin gaji Rp100 juta per bulan. Sementara, dulu waktu gua jualan kurban, gua bisa dapet puluhan hingga ratusan juta dalam 2 minggu. Dari situ, gua sadar jalur corporate bukan buat gua. Gua harus cari jalan lain yang bisa lebih cepat mencapai tujuan finansial gua.

Akhirnya, gua memilih untuk keluar dari kantor dan membangun jalan gua sendiri. Tapi sekali lagi, ini bukan ajakan buat resign tanpa persiapan. Lu butuh escape plan! Jadi, pikirkan matang-matang sebelum mengambil keputusan besar ini.

Post a Comment for "Alasan Resign Kerja yang Baik dan Profesional agar Karier Tetap Cemerlang"